[Kenangan]. Dan pelukan itu masih terasa getarannya sampai sekarang. Dan betapa sering kerinduan itu muncul seiring munculnya pelukan itu dalam lamunan. Meski itu terjadi dimasa aku kelas 3 SMA, yang telah lama berlalu. Untuk pertama kalinya aku mengikuti itikaf 10 hari terakhir bulan Ramadhan secara penuh. Itikaf, berdiam diri di dalam masjid selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Hari itu hari ke dua puluh bulan Ramadhan disaat aku masih duduk di bangku SMA. Betapa pengalaman itikaf sepuluh hari penuh ini menjadi pengalaman pertama sepanjang sejarah hidupku. Juga pengalaman kedua jauh dari orang tua dalam waktu terlama. Pengalaman pertama jauh dari orang tua ku dapati beberapa bulan sebelumnya saat mengikuti perkampungan Remaja Masjid BKPRMI (Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia) di Sine, Ngawi.
Siang itu setelah sholat Dzuhur aku berangkat dari pacitan menuju Magetan tempat tujuan Itikaf. Dengan naik motor aku bersama rombongan pak samsul club berangkat menuju magetan. Menjadi pengalaman pertama pula naik motor jarak jauh yang pernah kurasakan. Sepanjang jalan hati mendesir – desir, pikiran melayang – layang memikirkan kedua orang tuaku. Sepanjang jalan wajah Bapak dan Mamak selalu teringat jelas dalam film pikiran. Rasanya tak ingin berpisah dari mereka. Baru beberapa kilo perjalanan ditempuh, kerinduan ini serasa membuncah. Selama 10 hari jauh dari mereka disaat bulan Ramadhan, menjadikan rasa rindu ini semakin menebal. Dan memang inilah yang harus aku jalani, memulai untuk pertama kalinya Itikaf selama sepuluh hari penuh di sepuluh hari terakhir ramadhan. Belajar ikhlas meski belum ikhlas, belajar kuat meski belum kuat, belajar mandiri meski belum mandiri, berlatih meski belum terlatih.
Dan pengalaman itikaf pertama ini benar – benar memberikan sejuta makna untukku. Ilmu yang bermanfaat pun kudapatkan selama ‘sekolah’ sepuluh hari di magetan ini. Pengalaman jauh dari orang tua benar – benar melatih mental serta kedewasaanku menjelang lulus SMA. Dan di hari terakhir itikaf, yang artinya esoknya adalah hari raya Idul Fitri, selesai sholat maghrib dan berbuka aku beserta rombongan bersiap – siap untuk kembali ke kampung halaman Pacitan. Dan sekitar pukul 21.00 tibalah di pacitan tercinta. Aku turun depan gang menuju rumahku yang masih berjarak sekitar 300 meter. Didalam kegelapan malam berhiaskan sawah di kanan dan kiri aku pun berjalan dengan tubuh gemetar. Sebentar lagi aku akan berjumpa dengan Bapak dan Mamak yang selama 10 hari kutinggalkan. Betapa ku yakin rasa rindu mereka padaku melebihi rasa yang kini kurasakan. Seperti pulang dari perang, semakin dekat dengan rumah semakin rasa ini mendayu – dayu. Gema suara takbir bersahut – sahutan menghiasi langkahku menaklukkan gang 300 meter menuju rumah.
Dan akhirnya sampailah aku di depan rumah. Dengan mengucap “Assalamualaikum” ku buka sebuah perjumpaan yang sungguh mengharukan. Mamak dan Bapak menyambutku dengan penuh kerinduan. Bapak ku jabat tangannya dan kupeluk erat, dan giliran dengan mamak ku bersulang. Jabatan tanganku disambut dengan ciuman di pipi kanan dan kiriku, dan dalam sekejap pelukan Mamak merengkuh erat tubuhku. Aku pun tambah terharu saat melihat air mata membasahi pipi Mamak. Saat itu aku benar – benar kaget melihat keharuan di wajah Mamak yang berhiaskan air mata. Seakan bertemu dengan anaknya yang telah lama dinantikan. Dan aku pun terheran dengan air mata keharuan di malam takbir itu. Tak terasa menulis paragraf ini air mata ku pun ikut mengucur.
Dan ternyata Mamak telah menyiapkan sebuah kejutan berupa masakan kesukaanku, oseng – oseng kulit melinjo. Dan ternyata pula Mamak dan Bapak telah membelikan sebuah baju baru kemeja lengan panjang untuk hari raya esok hari. Dan betapa aku terkejut saat melihat baju baru itu ternyata ada cacat sedikit sobek di salah satu lengannya. Ternyata cacat baju tersebut memang sudah ada awal beli. Pikiranku pun melayang menduga – duga kalau Mamak Bapak memang sengaja membeli kan baju baru yang berharga murah yang konsekwensinya terdapat cacat pada baju. Bila teringat hal itu keharuan ini semakin membuncah.
Sebuah malam yang tak akan terlupakan. Pelukan erat Mamak di malam lebaran yang akan selalu terngiang. Betapa tidak, ternyata pelukan malam itu adalah pelukan bahagia terakhir yang kudapat dari mamak. Beberapa bulan kemudian Mamak terserang kanker rahim. “Mamak….. Pelukan malam itu tak akan pernah ku lupakan dan akan selalu kurindukan. Pelukanmu yang membuat pipiku basah di depan monitor komputerku malam ini”. Oh Ibuku.. Oh Bapakku.
Salam Bahagia Penuh Berkah.
Toha Zakaria
dan tulisan ini salah satu bukti bahwa mereka (ibu & bapakmu) telah punya salah satu investasi besar yang ganjarannya akan terus mengaliri mereka kelak, “anak sholih”.
Allahummagfirlaha ,,,,,,,
Comment by pasadina — July 7, 2013 @ 5:35 am
Amin..amin. Suwun mas fajar atas sugesti & Doanya. Salam ukhuwah
Comment by TOHA — July 7, 2013 @ 6:09 am