5 tahun sudah ibuku meninggalkan kehidupan dunia. Salah satu hal yang terus kupikirkan (dan bisa jadi hanya aku yang peduli) adalah status bapak yang sampai sekarang masih hidup sendiri. Pertengangan bulan juli yang lalu aku mudik ke kampung halaman untuk melepas kangen dengan bapak. meski hanya 2 hari di rumah seakan sebuah kenikmatan tersendiri. 2 hari yang tak hanya bernostalgia dengan kehidupan kampung. 2 hari yang merupakan waktu untuk mengetahui realita kehidupan bapak. Perjalanan 16 jam ke kampung halaman seakan sebuah kenikmatan. Setiap mudik kondisi bapak memang terlihat kurang mengenakkan. Semenjak ibu meninggal, tidak ada lagi yang menjadi penyeimbang bagi kehidupan bapak. Sudah berapa puluh kali aku mendengar saran dari tetangga ataupun saudara yang menyarankan agar bapak segera menikah lagi. Bahkan aku masih inget di awal – awal ibu meninggal, salah satu tetua guru ngaji mengeluarkan “nasihat” ancaman yang kurang lebih begini “jika bapakmu tidak kau ijinkan menikah lagi, maka jika ada dosa akibatnya kau akan ikut menanggungnya”. Aku pun sampai sekarang masih terngiang dengan kalimat tersebut. Kuakui, di awal ibu meninggal tak rela rasanya jika bapak langsung menikah lagi. Bayang – bayang ibu yang hidup masih sangat jelas di kehidupanku. Seakan beliau masih ada di kehidupanku, sehingga rasanya tak bisa menerima jika bapak nikah lagi.
Dan dapur tak pernah lagi mengepul, rumah tak lagi bernyanyi. Untuk urusan makan memang bapak tak lagi memasak sendiri. Tak jauh dari rumah, ada yang setia menjadi dapur kedua bagi bapak. Aku pun sangat menyadari akan kondisi bapak saat ini. Sepintas ingin rasanya aku protes ke beliau tentang kondisi rumah yang berantakan. Dapur tak lagi mengepul, kamar tidur acak – acakan, kursi dan dinding penuh debu, pakaian yang entah itu kotor atau bersih bergelantungan yang seakan meminta tolong untuk segera dimasukkan lemari. Karena beberapa sebab, Kakakku ke dua memilih tinggal di rumah mertuanya yang berjarak sekitar 20 Km dari tempat bapak tinggal. Hanya waktu – waktu tertentu saja beliau datang ke rumah untuk sekedar menginap sehari dua hari. Namun sejenak aku berpikir, aku meresapi kondisi bapak saat ini. Dan Semua itu sangat bisa aku pahami. Tak mungkin seorang yang hanya sendiri mampu mengerjakan tugas layaknya ibu rumah tangga dan juga layaknya kepala keluarga sekaligus. Hanya sebuah radio yang menemani bapakku di tengan malam. Ada tv namun hanya sebuah pajangan yang tak mau mengeluarkan gambar untuk dijadikan teman. Bisa dibayangkan bagaimana jika di tengah malam beliau mau mengeluh. Kepada siapa beliau memanggil. Di salah satu sudut siku tembok saya melihat satu garis warna hitam yang membedakan dengan warna tembok lainya. Setelah aku tanyakan ke bapak, ternyata siku tembok tersebut adalah bekas gosokan punggung beliau. Mengapa punggung bapakku digosok – goskkan ke tembok? Jawaban yang mengejutkan. Ketika tengah malam beliau masuk angin. Pertolongan sederhana yang bisa dilakukan adalah kerik’an. Namun bagaimana mengerik badan bagian belakang tanpa bantuan orang lain. Maka hal yang bisa dilakukan bapak hanyalah meminta tolong ke tembok. Di oleslah balsem ke siku tembok, dan dengan satu gerakan sederhana beliau membelakangi siku tembk sambil menggosok – gosokkan punggungnya di siku tembok tersebut. Mendengar penjelasan beliau, batin ini terasa menanggis, jiwa ini terasa menjerit.
Hanya kepada aku bapak mau mencurahkan uneg – unegnya seputar mencari pendamping hidup baru. Karena bisa jadi tak ada lagi yang peduli secara detail nasib lahir – batin bapak. Di satu sisi beliau ingin rasanya memilki teman hidup baru, namun disisi lain bapak menjadi agak minder, tidak percaya diri apakah nanti mampu menghidupi istrinya jika menikah lagi. Bapak pernah bilang “seandainya orang yang menikah denganku tiap hari meminta “rumput yang hijau”, bisa jadi aku tidak mampu memenuhinya” aku tahu pernyataan tersebut hanya sebuah perumpamaan yang menunjukkan kalaupun ada yang mau menikah lagi dengan bapak, maka hendaklah orang yang mau menerima bapak apa adanya.
Dalam banyak hal memang aku menjadi tempat pertama beliau “curhat”. Bapak memang cenderung lebih dekat denganku ketimbang dengan kedua kakakku. Pernah ada kejadian bapak di tipu seseorang yang mengakibatkan uangnya ratusan ribu hilang. Pertama orang yang di beritahu adalah aku. Lewat telepon beliau dengan nada pelan dan terlihat tegar menceritakan kejadiannya. Beliau berulang kali bilang “tidak usah kejadian ini diceritakan ke kakak – kakakmu, cukup kamu saja yang tahu, kalaupun ada yang tahu biar nanti di lain waktu jika telah berlalu lama”. Aku masih ingat dengan jelas, waktu itu aku pun menangis namun bukan menangis sedih,melainkan menangis terharu bercampur syukur. Betapa bapak sangat butuh perhatian dari orang lain, betapa indahnya kedekatan antara seorang anak dengan bapaknya. Di akhir telepon aku bilang ke beliau kalau uang yang hilang tidak usah di pikirkan lagi, masih bisa aku mencari uang yang lebih banyak untuk bapak. Aku juga mengatakan bahwa orang yang berbuat jahat meskipun bencana belum tiba tapi rejeki telah menjahui, dan orang yang berbuat baik meskipun rejeki belum tiba tapi bencana telah menjahui.
Bapak sering bercerita padaku bahwa telah banyak yang menawari pasangan hidup untuk beliau. Bahkan ada juga orang yang kurang waras akalnya menawari bapak dengan pilihannya. Aku juga pernah mendengar bahwa ada tetangga seberang yang menyindir bapak karena tidak segera menikah. Dia menyarankan pada bapak untuk mengadakan lotere calon istri bagi janda – janda di kampung. Janda – janda di kampung dikumpulkan dan di pilih siapa saja yang mau menikah dengan bapak, kemudian lewat undian (lotere) ditentukan siapa yang jadi istri bapak. Mendengar cerita tersebut semakin membuatku gemetar. Gemetar memikirkan kehidupan bapak. Kata bapak jika tak punya pendamping lagi seakan hidup ini tidak ada warnanya. Mungkin bagi yang sudah berkeluarga akan bisa merasakan maksud dari pernyataan bapak tersebut. Bisa merasakan bagaimana hidup sendiri sesudah berdua. Jika dulu ada yang mengingatkan rambut bapak yang sudah panjang, baju bapak yang sudah kotor, namun sekarang tak ada lagi penyeimbang dalam kehidupan bapak. Kadang rambut yang sudah begitu panjang dibiarkan saja tumbuh. yang akhirnya banyak yang bilang bapak seperti seorang budayawan. Ketika pulang dan melihat rambut bapak yang terlihat panjang aku mengatakan ke beliau “aku yakin tukang cukur tidak ada. Kalau ada tidak mungkin rambut bapak seperti ini”.
Rasanya tak bisa aku tinggal diam melihat kehidupan bapak seperti ini. Aku berusaha menjadi penyejuk di kehidupannya. Akupun juga berusaha mencari pendamping hidup untuknya. Pernah aku menanyakan secara langsung pada seseorang yang kebetulan sudah aku kenal. apakah dia mau menjadi istri bapakku, apakah dia mau menjadi ibuku. Menjadi sebuah peristiwa yang mendebarkan bagiku. Sebelumnya belum pernah aku berbicara empat mata dengan seorang wanita untuk membicarakan masalah cinta. Blass sama sekali belum pernah. Artinya saya tidak punya pengalaman sedkitpun menghadapi yang demikian. Namun entah kenapa keberanian itu muncul secara tiba – tiba dan mengejutkan. memang ku akui sungguh berat memulai pembicaraan dengan kondisi seperti itu. Seakan aku sedang berbicara dengan seorang yang ingin kujadikan kekasih, padahal belum pernah memiliki pengalaman seperti itu. Detak jantungku berdegup lebih kencang. Perasaan bingung mengawali pembicaraan. Bingung mau mulai dari mana. Aku berpikir mungkin seperti inilah rasa jika sesorang dengan wanita idamannya sedang perang rasa. Dan semuanya akhirnya bisa kulalui. Secara prinsip, beliau sebenarnya mau menikah dengan bapak. Namun ada hal yang sangat teknis yang menyebabkan ketidak mungkinan itu terjadi. Sambil berjalannya waktu akan terus berusaha untuk mencarikan bapak pendamping hidup lagi.
Secara kasat mata kehidupan bapak memang terlihat kurang ideal. Keadaan rumah, keadaan fisik, bisa menjadi indikator. Namun aku bangga punya bapak seperti beliau. Dengan keadaan yang orang lain bilang “tidak ideal” bapak seringkali mengulang – ulang wejangan yang seakan malah ingin menyemangati saya. beliau sering mengatakan kalau keadaan seperti ini bukanlah alasan untuk tidak bahagia, bukanlah titik mati untuk menganggap telah ditakdirkan untuk sengsara. Sengsara karena tidak punya pendamping hidup. Menurut bapak jika beliau tidak menikah lagi seakan hidup ini tak berwarna, namun bukan berarti tak bahagia. Kalaupun memang telah ditakdirkan memerankan peran yang kurang baik, semua akan diterima dan dijalani dengan ikhlas karena yang menjadi sutradara adalah pemilik kehidupan itu sendiri.
“Bapak…
Aku bangga menjadi anakmu
Bangga memiliki bapak yang demikian hebat
Bapak yang SD saja tidak lulus, namun mampu mendidik anaknya ‘sampai negeri cina’
Aku bangga punya bapak seorang petani. Yang ketika melihat hasil sawahmu yang ranum menggiurkan, aku merasa engkau seorang petani hebat.
Aku bangga punya bapak seorang kuli bangunan. Yang ketika melihat bangunan karyamu berdiri, aku merasa engkau seorang kuli bangunan yang hebat.
Aku bangga punya bapak yang pandai berbicara di depan orang banyak. Yang ketika melihatmu tampil dipanggung pernikahan, di acara tunangan, acara syukuran, aku merasa engkau seorang pembicara yang hebat”.
Salam Syukur Penuh Berkah
Toha Zakaria. 6 September