Cerita Pertama.
Malam itu saya sedang berada di daerah cempaka putih jakarta pusat dan hendak pulang ke rumah. Saya berjalan di trotoar untuk mencari angkot menuju UKI. Ditangan kanan saya ada dua buah roti yang baru saya beli seharga @ 30 ribu. Tiba – tiba saya bertemu dengan orang yang penampilannya terlihat lusuh, kotor, cemberut, sedang terdiam duduk di pinggir trotoar. Saya berpikir apakah ini orang kurang waras. Dari tampangnya dia terlihat sedih lemes tak bertenaga. Terlihat seperti orang gila yang sering saya jumpai di pinggir jalan. Tiba – tiba hampir tanpa berpikir (spontan) saya memberikan 1 bungkus roti yang saya pegang ke dia. Ketika saya bilang “mau roti?” dia hanya diam memandangi mata saya seakan penuh kecurigaan. Raut wajah yang tadinya terlihat sedih berubah menjadi seperti sedang mencurigai. Dan saya ulangi lagi “ini roti buat kamu, mau?”. Langsung dia menerima roti dari tangan saya. Pandangan saya bukan melihat tangan dia menerima roti dari saya, namun malah terpaku pada senyuman yang dia berikan. Melihat dia tersenyum sungguh sebuah kenikmatan yang tidak bisa dinilai dengan sebungkus roti. Malam itu saya kembali belajar akan ilmu kehidupan bersyukur dan berbagi.
Cerita Kedua.
Setelah di diagnosa ternyata sakit yang di derita sahabat baikku cukup parah. namun dia hanya diam tak pernah mengeluh. dan akhirnya demi kebaikan dia dan aku, Dokter memutuskan mengganti beberapa bagian tubuhnya dengan yang baru. dan ternyata cuma menghabiskan biaya 112 ribu. ganti Gir, Priwil, Rante, As. Ahhh. Lega rasanya sepedaku sudah sehat kembali& sudah enak di naiki. Saatny pulang menyusuri jalanan bersama sahabat baikku. ?
Bisa jadi cerita yang kedua ini tidak ada makna apapun bagi anda sebagai pembaca. Atau mungkin hanya bisa membuat anda tertawa atau bahkan sedikit tersenyum. Namun bisa juga cerita sepeda saya yang minggu ini masuk bengkel tersebut memberi sebuah inspirasi atau pesan positif bagi anda. Semoga minimal sedikit membuat anda tersenyum.
Cerita Ketiga.
Sore itu saya pulang kerja sekitar jm 5an. Seperti biasa saya melewati jalan yang sudah biasa saya lalui. Sampai di pertigaan besar Jababeka ayunan sepedaku terhenti. Kali ini terhenti menunggu pak polisi memberikan kesempatan kendaraan dari arah lain untuk lewat terlebih dahulu. Pandanganku mengarah pada pedagang asongan yang mejual minuman kemasan. Sopir Sebuah mobil box yang berada di sampingku memangil si pedagang tadi. Saya pun menebak dengan pasti kalau sopir ini mau membeli minuman pada pedagang tersebut. Namun saya bertambah heran ketika tahu bahwa mobil box tersebut adalah mobil delivery sebuah minuman kemasan (gelas) yang kebetulan pabriknya berada di depan tempat saya bekerja. Dalam hitungan sekejap saya jadi bertanya – tanya “dia kan delivery minuman kemasan, kenapa mau beli minuman kemasan?”. Ternyata dugaanku meleset jauh. Sopir tadi ternyata memang menginginkan minuman kemasan botol dan yang saya lihat adalah merek Mizone. Namun bukan dengan uang dia membayar melainkan dengan menukar minuman kemasan dalam gelas yang dia miliki dengan sebotol mizone. Nampak sekali si sopir tidak begitu perhitungan dalam membarter minuman tersebut. Dan nampak terlihat sang sopir memberikan 6 buah lebih minuman yang dia miliki. Malahan si pedagang asongan dengan nada merendah seperti menolak pemberian sopir yang sudah melewati batas untung bagi si pedangang asongan. Tentu dalam hal ini pedagang asongan mendapat untung lebih besar. Karena segelas minuman yang dia dapatkan bisa dijual seribu, artinya dia mendapatkan 6 ribu lebih. Sedangkan harga sebuah mizone tak lebih dari 4 ribu.
Memikirkan kejadian yang baru saya temui tersebut akhirnya menjadi teman meneruskan perjalanan menuju rumah. Dan ternyata kejadian yang baru saya jumpai tersebut malah mengingatkan saya akan artikel New Wave Marketing yang di tulis pak Hermawan Kartajaya. Saya pun juga bingung kenapa pikiran saya malah lari ke artikel tersebut ya. “emang ada hubungannya?”. Berikut petikan artikelnya :
Jika ada teman yang meminta Anda untuk membantunya mengangkat barang ke dalam mobil, imbalan mana yang lebih Anda sukai: satu loyang pizza atau uang senilai satu loyang pizza? Ini bukan pertanyaan iseng. Heyman dan Ariely, dua orang pakar perilaku, sengaja membahas hal tersebut dalam sebuah artikel yang dipublikasikan oleh jurnal Psychological Science. Ternyata, mereka yang “diupah” dengan pizza justru memberikan bantuan secara lebih sungguh-sungguh dibandingkan yang diberi imbalan uang. Meskipun secara nominal nilai pizza dan uang tersebut sama, tapi efeknya ternyata berbeda. Kenapa bisa seperti itu? Dua barang tersebut, pizza dan uang, mewakili dua skenario yang berbeda. Jika Anda membantu teman dengan imbalan uang, maka transaksi yang terjadi berada dalam lingkaran “monetary market”. Sedangkan jika pizza yang dijadikan imbalan, inilah yang disebut “social market”. Sederhananya, imbalan berupa uang menjadikan hubungan Anda dan teman Anda layaknya sebuah transaksi bisnis. Sebaliknya, imbalan berupa hadiah menjadikan bantuan yang diberikan tetap dalam spirit persahabatan. Dan ternyata, dalam kasus ini motif sosial justru bisa memberikan motivasi yang lebih besar dibandingkan motif ekonomi.
Emm… ada hubungannya tidak ya??. Emmm… ya sudahlah, biar anda sendiri yang menghubungkannya. 🙂
Salam penuh berkah
Toha Zakaria 31 October 2009
[…] kepada puteranya : “Wahai anakku, ingatlah kamu akan cerita tentang seseorang yang mempunyai sepotong roti.” Dahulu kala di sebuah tempat ibadah ada seorang lelaki yang sangat tekun beribadah kepada […]
Pingback by Ikatlah Ilmu Dengan Menuliskannya, Ikatlah Dengan Menge-Blog-kannya » Sepotong Roti — May 31, 2010 @ 9:56 pm