Aku nduwe dolanan sing apik
Prahu cilik tak kelekne mbanyu
Mbesok gede dadi tukang prahu
Bayarane satus sewidak ewu…
Lagu diatas bisa jadi bukan yang pertama anda lihat ketika mengunjungi tulisan ini. Foto di samping bisa jadi menjadi sasaran pandangan pertama anda. Foto disamping saya dapatkan dari koran jawapos terbitan bulan lalu. Betapa foto tersebut sarat akan makna pembelajaran. Foto seorang pedangang cilok (bakso tusuk) yang sedang melayani pembeli pulsa yang ia jajakan bersama baksonya. Kembali ke lagu diatas. Ada sebgaian dari anda yang sangat familiar dengan lagu tersebut dan ada pula sebagaian yang tidak. Saya yang lahir di daerah jawa timur sangat hapal dengan lagu tersebut. lagu diatas tidak hanya sekedar lagu, namun bisa dibilang semacam afirmasi (‘kudangan’), atau harapan (Doa). Jika di Indonesiakan arti lagu tersebut adalah sebagai berikut :
“Saya punya mainan yang bagus, perahu kecil saya hanyutkan di air, besok kalau saya sudah besar, bercita-cita ingin jadi tukang perahu, yang gajinya seratus enam puluh ribu”
Lagu tersebut sering dinyanyikan oleh orang tua ketika menggendong anaknya yang masih kecil. Seakan orang tua berharap kalau sudah besar nantinya sang anak kelak menjadi seorang nelayan yang bergaji 160 ribu. Apakah 160 ribu adalah jumlah yang besar?. Apakah profesi seorang nelayan adalah profesi yang membanggakan secara finansial?. Lagu diatas populer antara tahun 60-70an. Bisa jadi saat itu banyak nelayan atau pelaut yang kaya. Yang kemudian menginspirasi masyarakat agar anaknya kelak menjadi nelayan. Untuk ukuran sekarang gaji 160 ribu bukanlah sebuah jumlah yang besar atau wah. Namun ada satu makna yang saya tangkap dari lagu ini. Orang tua kita selalu berharap agar anaknya kelak bisa hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang layak, memiliki sumber penghasilan yang bisa dihandalkan. Betapa dulu saya sering mendengar orang tua yang memotivasi anaknya agar nanti kalau besar menjadi pegawai. Lebih tepatnya pegawai negeri. Status penghasilan yang lebih terjamin, aman dari PHK, memperoleh banyak tunjangan, ada dana pensiun, dan masih banyak lagi manfaat yang membuat orang tua berharap anaknya menjadi pegawai negeri.
Adalah sebuah hal yang wajar dan sangat manusiawi bagi seoarang manusia yang menginginkan kepastian dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hal yang wajar bila seoarang manusia menginginkan pekerjaan yang bisa memberikan kepastian penghasilan. Karena memang itulah salah satu karakter dasar dari seorang manusia. Dan saat ini telah banyak dari teman – teman saya yang telah berhasil menjadi pegwai negeri sipil. Saya ucapkan selamat pada mereka yang telah berhasil menjadi PNS. Nafas kelegaan yang muncul dari mereka yang berhasil menjadi Pegawai negeri sipil seakan menjadi kelegaan juga bagi saya. Namun jangan juga berkecil hati bagi teman – teman yang sudah berjuang tapi tak lolos menjadi pegawai negeri. Semapan apapun pekerjaan yang kita miliki tidak menjamin kita tidak akan tergerus oleh perubahan zaman. dan jika kita lihat di sekeliling kita, betapa dunia cepat sekali berubah. yang awalnya diatas bisa dengan tiba – tiba terjun ke bawah. Perusahaan besar level internasional yang nampaknya kebal terhadap kiris tiba – tiba gulung tikar. Yang akhirnya semua itu menuntut kita untuk berpikir dan bertindak kreatif. Jika tidak maka kitalah yang akan tergerus oleh dunia yang cepat berubah. Bisa jadi kita tidak pernah berpikir dan belajar untuk menyusun langkah kita kedepan karena sudah merasa nyaman di pekerjaan yang kita jalani. Dan hanya sebuah musibah yang akan membangunkan kita dari rasa nyaman tersebut. Selama kita terus belajar di arena kehidupan ini, maka ketidakpastian dalam kehidupan ini tidak perlu kita takuti. Pedagang cilok diatas bisa kita jadikan pelajaran agar kita berpikir kreatif dalam mecari peluang – peluang sumber penghasilan baru. Kalaupun menjadi tukang perahu, tidak mengapa menjadi tukang perahu yang bergaji 160 ribu. Namun bukan 160 ribu rupiah, melainkan 160 ribu US$. 🙂
Salam Penuh berkah
Toha Zakaria, 14 December 2009