“Awalnya kita membentuk kebiasaan, lalu kebiasaan membentuk kita”
Tepat di bulan Januari 1 tahun yang lalu saya masuk ke dalam sebuah program bagus yang berjudul “One Day One Juz” atau lebih dikenal dengan singkatan ODOJ. Tentu sudah banyak yang tahu apa itu One Day one Juz. Betul, ODOJ adalah membaca rutin Al-quran 1 hari 1 juz. Dan TAK TERASA, lebih tepatnya SUNGGUH SANGAT TERASA, waktu 1 tahun itu telah berlalu. Alhamdulillah selama 1 tahun tersebut saya berhasil memaksa diri saya untuk rutin tilawah 1 hari juz tanpa pernah ada putus sehari pun hingga sekarang. Mengapa saya menggunakan kata MEMAKSA diri? Berati terpaksa donk?. Betul, memang saya memaksa diri saya untuk mau tidak mau, ikhlas tidak ikhlas, rela tidak rela, harus mau tilawah 1 hari 1 juz. Karena memang berat untuk membentuk sebuah kebiasaan baru yang sebelumnya belum mendarah daging tanpa ada dorongan paksaan dari dalam diri. Tanpa ada paksaan yang kuat dari dalam diri, atau misal menunggu diri ini ikhlas lahir batin, mungkin program tilawah 1 hari 1 juz itu tidak akan terwujud menjadi sebuah habits baru yang tertanam dalam diri. Memang berat untuk mengubah sebuah hal baru menjadi habits atau kebiasaan yang mendarah daging.
Sering kita mendengar orang berkata “sulit ya untuk menjaga keistiqomahan”. Orang yang berkata tersebut berati belum benar – benar menjadikan kebiasaannya mendarah daging pada dirinya. Ketika sebuah kebiasaan telah melebur dan mendarah daging karena saking terbiasanya, maka sebenarnya tidak ada lagi namanya BERAT menjaga konsistensi. Jadi yang berat itu bukan menjaga keistiqomahan, tapi yang berat itu membuat diri terbiasa dan saking terbiasanya akhirnya kebiasaan baru tersebut mendarah daging menjadi bagian dari program di dalam diri. Coba tanyakan pada mereka yang sudah menjadikan merokok sebagai sebuah habits yang mendarah daging, apakah menjaga rutin merokok itu sulit, tidak enak, pahit, asapnya mengganggu, bikin kantong boros?, tentu mereka akan menjawab merokok itu nikmat, bahkan akan sangat sulit untuk menghentikannya. Ibarat seperti sebuah lokomotif yang menarik gerbong kereta yang berderet – deret dengan berat puluhan bahkan ratusan ton, berat di awal keberangkatan dan itupun dengan laju yang sangat pelan. Namun ketika momentum sudah tercipta beban yang diawal jalan terasa begitu berat berubah menjadi terasa ringan. Terus berjalan seperti angin, bahkan sulit untuk menghentikannya, dan untuk menghentikannya tidaklah mudah, dibutuhkan tenaga, energi yang begitu besar. Begitu juga dengan sebuah habits.
Saya jadi teringat ketika 12 tahun yang lalu diri saya sudah mulai terbiasa puasa senin – kamis, dan saya menganggap puasa senin – kamis adalah puasa sunah yang sudah menjadi batas atas dalam diri saya. saya tidak bisa membayangkan apakah saya mampu menjalankan puasa sunah yang lebih berat dari itu. tiba – tiba oleh teman spiritual saya, saya dipaksa untuk menjalankan puasa daud (sehari puasa-sehari libur), yang kebetulan saat itu bebarengan dengan masa – masa limbung karena baru ditinggal ibu (meninggal). Masa – masa berduka ditambah dengan paksaan dari teman akhirnya membuat saya ngotot memaksa diri untuk menjalankan puasa daud. Terasa berat, tidak ikhlas, mengganggu sistem kenyamanan tubuh, mengganggu sistem rutinitas sehari – hari yang sudah terbentuk, menjadi hiasan awal dalam membiasakan diri pada kebiasaan baru puasa daud. Namun akhirnya atas izin-Nya saya berhasil membiasakan puasa daud hingga kini, dan nanti (amin). Mengubah dari Conscious Incompetence menjadi Unconscious Competence, dari yang semula kompetensi yang hanya dikenali pikiran sadar menjadi kompetensi pikiran bawah sadar (otomatis).
Proses sebuah habits baru yang masuk menjadi sebuah program dalam diri, alurnya seperti ini : pertama kita secara pikiran sadar memaksakan sebuah kebiasaan baru untuk dijalankan, dan di titik awal inilah perlawanan dari dalam diri (tepatnya pikiran bawah sadar) muncul karena hadirnya sebuah kebiasaan baru yang belum dikenali oleh pikiran bawah sadar. Dan padahal pikiran bawah sadar punya pengaruh 9 kali lebih kuat ketimbang pikiran sadar. Artinya jika pemaksaan tidak dilakukan terus menerus maka yang terjadi adalah pikiran bawah sadar akan mensabotase (menghentikan) kebiasaan tersebut karena dirasa membebani diri. Sebaliknya ketika kebiasaan baru tersebut oleh pikiran sadar secara terus menerus dipaksakan masuk kedalam diri, maka lama – kelamaan pikiran bawah sadar akan menangkap dan menjadikannya program otomatis di dalam diri. Dan ketika sebuah kebiasaan telah menjadi program otomatis di dalam diri, maka tidak akan ada lagi rasa berat dalam menjalankan kebiasaan tersebut. bahkan malah akan terasa kehilangan keseimbangan (hilangnya kenikmatan) ketika misal kebiasaan baru tersebut tidak dijalankan.
Seperti juga yang pernah saya dapatkan dari Pak Yan Nurindra (Master Hipnotis Indonesia), bahwa dalam pembentukan kompetensi ada 4 tingkatan sebagai berikut :
Unconscious Incompetence : Tidak menyadari bahwa tidak mampu => (tidak terpikirkan soal ODOJ)
Conscious Incompetence : Menyadari bahwa tidak mampu => (terpikirkan/ tersadari bahwa ODOJ itu sulit-berat)
Conscious Competence : Menyadari bahwa mampu => (tersadarkan bahwa ternyata mampu rutin ODOJ, namun belum menjadi habits yang otomatis)
Unconscious Competence : Tidak menyadari bahwa mampu => (ODOJ sudah tidak membebani, bahkan sudah memunculkan efek nikmat karena sudah menjadi rutinitas otomatis)
Hal diatas berlaku bukan hanya untuk kebiasaan yang baik, namun juga untuk habits yang tidak baik seperti misal merokok, minum minuman keras, mudah marah, sabar, kebiasaan tidur larut malam, dan lain – lain.
Semoga Bermanfaat
Salam Penuh Berkah
Toha Zakaria.