PULANG KAMPOENG. Bagi yang tinggal di luar kampoeng halaman tentunya yang satu ini sangat di rindukan. Bagi yang kuliah, bagi yang mengadu nasib, atau bagi yang sedang berbisnis, tentunya sangat familiar dengan kalimat yang satu ini “pulang kampoeng”. Begitu juga bagi saya yang berada sekitar 800 km dari kampong halaman. Kegiatan yang satu ini punya arti lebih bagi saya pribadi. Selain yang utama sebagai pelepas kangen/sungkem dengan Bapak, pulang kampong bagi saya juga sebagai wisata kuliner. Kesempatan untuk menikmati makanan yang tidak akan saya dapatkan di tempat saya merantau. Kesempatan untuk menikmati masakan bapak saya, seperti jangan ontel, kalak’an hiu, atau yang lebih nyleneh lagi “sambel walang sangit”. tapi tulisan ini bukan khusus untuk membahas kegiatan pulang kampong saya. Saya ingin menyampaikan inspirasi yang saya dapatkan ketika pulang kampong.
Sudah menjadi agenda rutin saya mudik minimal (minim tapi maksimal) 4 bulan sekali. Itu saya lakukan sebagai wujud cinta saya kepada orang tua saya. Dan kendala utama untuk mudik adalah masalah waktu. Karena kerjaaan saya tidak bisa diajak kompromi untuk agenda mudik. Jadi seringkali pagi jam 7 atau jam 3 sore saya baru punya rencana berangkat mudik malam harinya. Dan waktu tempuh di perjalanan dengan bus kurang lebih (bisa kurang, bisa lebih) 16 jam (busyett… lama-kan, padahal kalo naik pesawat, Cuma 4 jam), Sehingga waktu yang saya habiskan di kampung-pun juga super singkat. Bahkan pernah saya di rumah kurang dari 24 jam (17 jam). Ketika sampai di kampong banyak di antara kerabat, teman atau tetangga yang mengajukan pertanyaan – pertanyaan seputar diri saya. Ada dua pertanyaan yang sering saya dapatkan ketika pulang kampung, yaitu : “gimana kabarnya?” Dan “kapan balik lagi ke kota?”. Untuk pertanyaan pertama jelas saya jawab “Alhamdulillah kabarku baik”, dan untuk pertanyaan kedua sering saya jawab dengan jawaban yang mengagetkan sang penanya yaitu “baliknya besok”. Setelah kaget dengan jawaban saya, biasanya sang penanya balik berkomentar : “baru datang sekarang kok besok sudah balik, apa ga capek?, apa puasnya kalo Cuma 1 hari di sini? Apa ga Cuma habisin ongkos?” Ada lagi “kaya sini dengan kampung sebelah aja, dikit – dikit pulang, dikit- dikit pulang, pulang kok dikit – dikit”. Itulah komentar yang sering saya dapatkan. Dan biasanya saya menjawab komentar mereka dengan jawaban yang singkat, yaitu “kemarau setahun, seakan – akan hilang tak berbekas oleh hujan yang hanya sehari”, “dan bisa jadi dibutuhkan waktu setahun untuk membuat hujan yang hanya sehari tersebut”. dan biasanya mereka berkomentar lagi. Dan di komentar inilah yang membuat saya terhenyak. Komentar tersebut adalah : “iya mumpung masih bujang sering – seringlah menengok orang tua.” Intinya adalah : mumpung masih muda, mumpung masih bujang, mumpung belum berkeluarga….. sering seringlah menjenguk orang tua, maksimalkan baktimu ke mereka. OopPpsSss….., mulai di sinilah saya menemui kebingungan. Apakah loyalitas terbesar seorang anak kepada orang tua hanya sampai jenjang pernikahan saja?. Apakah berkeluarga benar – benar membuat potensi berbakti ke pada orang tua menurun? Apakah setelah berkeluarga nantinya saya juga seperti itu?, kepedulian saya terhadap orang tua menurun? Berkeluarga telah memeras potensi saya sehingga untuk urusan orang tua menurun atau bahkan terlupakan?, berganti dengan “untukmu masalahmu, untukku masalahku”?. Dan bagaimana anak saya nanti memperlakukan saya ketika saya sudah tua? Atau mungkin bagi anda yang sudah menikah, pertanyaan di atas tentu sudah bisa di jawab. Silahkan pikirkan, renungkan dan kemudian simpulkan bagi anda yang sudah berkeluarga. Dan sering saya menjumpai dari mereka yang sudah berkeluarga, berkeluh dan berkesah tentang beratnya berkeluarga. Kredit rumah, kredit motor lah, sekolah anak lah, biaya makan sehari –hari…. Wuih pokoknya berat….. –kata mereka-. Dan seakan – akan semakin membuat saya kawatir, apakah nanti saya masih terus bisa menyuplay untuk orang tua saya? Padahal berkeluarga itu berat?. Pertanyaan – pertanyaan itulah yang terus menaungi saya.
Ketika seorang anak telah mampu menghasilkan uang, maka secara financial sesungguhnya ia adalah asset bagi orang tuanya. Masih ingat definisi asset ala Robet kiyosaki? Asset adalah semua yang menyebabkan uang masuk ke kantong, sedangkan liability adalah semua yang menyebabkan uang keluar kantong. Jadi semapan apapun orang tua, ketika seorang anak telah mampu menghasilkan uang, maka berapapun presentasenya harus ada yang dialokasikan untuk orang tua. Tapi apakah berarti orang tua menjadi liability bagi anak karena telah menyebabkan uang keluar?. Bukan liability, tetapi merupakan investasi bagi sang anak. Yang mana hasilnya akan di rasakan ketika sang anak telah menjadi orang tua dan punya anak yang telah bekerja. Artinya jika tidak berinvestasi, mana mungkin akan mendapakkan profit. Jika seorang anak tidak berinvestasi dengan orang tua sebagai instrumen, mana mungkin ia akan mendapatkan hasil ketika sudah tua nanti. Dari sudut Agama di jelaskan bahwa orang tua merupakan salah satu jalur – jalur infak bagi sang anak. Ini dijelaskan dalam surat ke 2 ayat 215 dalam Alquran berikut :
Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. QS:2:215
Jika hal ini di jelaskan dengan prinsip LOA (Law of Attraction) maka sudah sangat jelas keterikatannya. Kemiripan akan menarik kemiripan, frekuensi (tindakan) yang sama akan menarik frekuensi yang selaras. Ketidakpedulian seorang anak terhadap kesejahteraan orangtuanya akan menarik kondisi (dalam ketidakpedulian) di kehidupannya kelak. Jadi selamanya seorang anak adalah asset bagi orang tuanya. Ketika orang tua sudah meninggalpun dia masih asset bagi orang tuanya. Karena kebaikan yang telah di lakukan sang anak, akan tercatat sebagai kebaikan orang tua pula. Oleh karena itu saya pribadi berusaha untuk terus menjadi asset bagi orang tua saya. Dan dari pengetahuan tentang mindset yang saya peroleh selama ini, saya yakin kemampuan saya untuk menjadi asset bergantung pada keyakinan saya. Jika saya yakin mampu, maka kondisi mampulah yang akhirnya saya peroleh. Sebaliknya jika saya meyakini berat, ya situasi sulitlah yang akan saya peroleh. Dalam sebuah hadist qudsi ALLAH menyampaikan demikian “aku bergantung pada prasangka hambaku”. Atau dengan kata lain “Yakin bisa atau yakin tidak bisa adalah benar”.
Jadi teruslah jadi asset bagi orang tua anda.
Salam Penuh Berkah
Toha Zakaria
[…] selalu menjadi primadona bagi para perantau. Termasuk saya. Salah satu yang membuat saya rindu pulang kampung ke Pacitan adalah makanannya. Yang kebanyakan sulit didapati di perantauan. ‘Mudik Kuliner’ terakhir […]
Pingback by Ikatlah Ilmu Dengan Menuliskannya, Ikatlah Dengan Menge-Blog-kannya » NASI TIWUL BU GANDOS — January 16, 2010 @ 8:26 am