Ikatlah Ilmu Dengan Menuliskannya, Dengan Menge-Blog-kannya Rumah Inspirasi Toha Zakaria

May 29, 2014

Perjalanan Pertama Ke Tanah Sumatera

Filed under: Curhat — Tags: , — TOHA @ 3:54 pm

“Assalamualaikum. saya ikut terenyuh baca blog anda (oh ibuku….oh bapakku). Sebagai anak yang pernah kehilangan ibu, dan sebagai ibu yang sedang berjuang membesarkan anak-anak, saya bisa merasakan apa yang anda tulis di blog anda. Cerita anda menepis kekhawatiran saya, ternyata dunia belum kehabisan orang – orang seperti anda, begitu care sama ortu… saya terharu” (ibu NURI-di Bengkulu)”

Toha Zakaria - Riatun Bengkulu

Berawal dari salah satu artikel yang saya tulis sekitar 5 tahun yang lalu, yang berjudul “Oh Ibuku Oh Bapakku”. Yang kemudian di sebuah sore di awal 2009 muncullah sebuah sms yang nomernya tidak ada di phonebook HP saya. Isi sms itu sungguh mengagetkan, bunyinya seperti yang sudah saya kutipkan diawal tulisan ini

Iya, sms tersebut adalah komentar dari seorang pembaca blog yang tinggal di bengkulu. Namanya ibu Nuri. Saya pun bertanya – tanya dari mana beliau mendapatkan nomer saya? Ternyata setelah saya tanyakan beliau tahu dari banner iklan yang saya pasang di blog. Sebuah banner iklan tentang bisnis pulsa yang saya ikuti.

Membaca sms tersebut membuat saya lemes seketika, lemes tak bisa berkata apa – apa. Keharuan pun menyeruak dalam hati saya, mengingatkan kembali pada sosok ibu yang sungguh jasanya tak terkira. Akhirnya saya pun semakin akrab dengan Ibu Nuri, yang aslinya adalah dari Cilacap. Pertemanan pun berlanjut di Facebook. Menelpon ke bengkulu pun saya lakukan untuk mempererat tali siaturahim, biar lebih saling mengenal. Dan ibu Nuri ini tipe orang yang menurut saya Pendiam, pintar, dan sedikit pemalu. Akhirnya cerita pun berlanjut, cerita tentang “Oh ibuku oh bapakku” oleh Bu Nuri di share ke teman halaqohnya. Dari situlah kemudian saya mengenal Ibu Riatun. Ibu Riatun pulalah yang mengawali mengirim sms testimoni terhadap artikel tersebut. Jika Ibu Nuri cenderung pendiam dan tak banyak bicara, beda dengan Ibu Riatun yang lebih akrab dan terbuka dalam bertukar cerita kehidupan. Mungkin bukan sebuah kebetulan kalau ternyata Ibu Nuri dan Ibu Riatun juga aktif mengikuti tarbiyah (liqo) seperti saya, yang akhirnya membuat persahabatan pun semakin nyambung.

Seiring berjalannya waktu saya semakin dibuat terharu oleh perhatian yang Ibu Riatun berikan pada saya. Saya seperti punya sosok ibu baru. Ibu Riatun pun pernah berujar bahwa beliau menganggap saya seperti anak sendiri. Saya pun seperti punya saudara yang sudah lama tidak bertemu. Kerinduan pun semakin muncul dengan perlahan – lahan. Ibu Riatun pun akhirnya juga berkenalan dengan bapak saya melalui telepon. Kebetulan Ibu Riatun ini adalah transmigran dari daerah wonogiri. Pada waktu itu beliau masih berumur sekitar 5 tahun dan bertepatan dengan pembuatan waduk gajah mungkur yang membuat beberapa desa harus terkena gusuran. Dengan latar belakang itulah meski tinggal di bengkulu namun dalam kesehariannya Ibu Riatun masih menggunakan bahasa jawa. Inilah yang kemudian membuat komunikasi dua arah antara saya, bapak saya, dengan Ibu Riatun lebih “semanak”.

Belum pernah ketemu, cuma berawal dari sebuah tulisan sederhana di blog, yang kemudian berlanjut di FB, namun anehnya semua itu membuat Ibu Riatun yakin seyakin – yakinya bahwa Toha adalah sosok anak yang baik. Kepercayaan itu benar – benar membuat saya geleng – geleng takjub. Betapa luas bumi Alloh ini, dan betapa indahnya sekenario Alloh yang terlihat sepele namun rumit.

Akhirnya saya pun bertekad untuk datang ke bengkulu, menjawab kepercayaan yang telah Ibu Riatun berikan pada saya. Dan memang berkali – kali Ibu Riatun menyuruh saya untuk main ke bengkulu. Dan tanah sumatera adalah area baru yang belum pernah saya tapaki. Setelah menunggu situasi dan kondisi yang mendukung, akhirnya hari ini kamis awal Mei saya benar – benar berangkat ke bengkulu. Terwujudnya semua ini salah satunya tak lepas dari keputusan besar yang saya ambil di awal February 2013. Di awal februari saya memutuskan resign dari pekerjaan saya yang telah saya tekuni selama 7 tahun.

Pesawat Lion Air mengantarkan saya menuju tanah bengkulu. Berangkat dari bandara soekarno hatta sekitar pukul 1.15 siang, dan tiba di bandara fatmawati bengkulu hampir setengah 3. Disinilah hati saya semakin berdebar – debar menyambut detik – detik pertemuan dengan seseorang yang sebelumnya belum pernah beretemu. Semua bermodalkan yakin dan saling percaya. Saya yang sebelumnya sudah memberi kabar kalau saya mengenakan baju batik warna biru, akhirnya disapa dari belakang dengan suara lantang. “Dek Toha ya”. Detak dunia rasanya seperti berhenti. Keharuan, berdebar – debar, dan seakan tak percaya, menyelimuti peristiwa di hari kamis sore.

Di dalam mobil selama perjalanan dari bandara menuju rumah saya masih berdebar – debar seperti merasakan sebuah mimpi namun penuh kesadaran. Saya masih setengah tak percaya dengan skenario ajaib yang saya jalani ini. Di dalam mobil saya duduk di tengah berdua dengan Ibu Riatun, dan di depan suami Ibu Riatun menjadi sopir ditemani Rizky, putra sulungnya. Ketegangan masih meyelimuti sekujur tubuh saya dalam perjalanan menuju rumah yang berada di Bengkulu utara. Mampir sejenak di Pantai Panjang, Benteng Marlborouch, dan juga warung makan menjadi “jeda” ketegangan kali ini.

Sesampainya di rumah ketakjubpan saya pun semakin menjadi, saya disambut begitu luar biasa oleh simbah putri (ibu dari Ibu Riatun) dengan begitu hangat. Seperti seorang nenek yang sudah lama tidak bertemu dengan cucunya. Saya pun kaget dan terheran – heran dengan mbah Putri yang seperti sudah mengenal banyak sosok diri saya. Dan ternyata semua itu berkat Ibu Riatun yang selalu bercerita tentang seluk beluk seorang Toha.

Kamis malam pun saya merebahkan diri di dalam kamar berukuran 2 X 3 Meter menatap langit – langit dengan seribu pikiran dalam kata melukiskan semua yang telah saya alami hari ini. Takjub, seakan tak percaya, penuh syukur, dan juga bingung menjadi hiasan pengantar pengalaman tidur pertama di tanah sumatera.

Ikhsan dan Aan, putra no 4 dan 5 Ibu Riatun yang masih ada dirumah. Sedangkan ketiga kakaknya sudah harus jauh dari keluarga demi mengejar pendidikan yang lebih tinggi. Bersama ikhsan dan Aan inilah saya seperti 3 bersaudara..hahahahaha. Masih terngiang jelas betapa akrabnya kami bertiga. Naik motor bertiga menjelajah kebun, memetik kelapa muda, ke rumah kakung, dan lain –lain. Ikhsan & Aan, dua anak penggemar ayam goreng yang begitu membekaskan kenangan.

Hari kedua tepatnya hari jum’at saya menjelajah kebun sawit dengan Pak Tamto, Suami dai Ibu Riatun. Saya seperti memasuki hutan yang jauh dari penduduk. Begitu “silu”, begitu senyap, dengan medan yang sangat menantang membuat perjalanan menggunakan motor kali ini begitu menegangkan.

Dua malam yang begitu singkat dan cepat. Sabtu sore saya harus terbang kembali ke Jakarta. Saya pun menyesal karena membeli (menjadwal) tiket pulang hanya dengan hitungan 2 hari di bengkulu. Namun apa daya tiket sudah ditangan. Akhirnya dengan sangat menyesal saya belum bisa berkunjung kerumah ibu Nuri yang katanya masih beberapa jauh dari rumah Ibu Riatun.

Hari sabtu sekitar jam setengah tiga siang saya diantar ke bandara Fatmawati. Untuk sementara saya harus berpisah dengan pertemuan menakjubkan yang terasa cepat ini. Ketika mobil meninggalkan bandara tiba – tiba degub jantung saya berdebar lebih kencang. Kesedihan menyelimuti seperti perpisahan dengan sebuah kenangan baik, perpisahan dengan sebuah keluarga yang baik hati.

Saya bersyukur bisa berkunjung ke tanah sumatera, saya bersyukur bertemu dengan sebuah keluarga yang sungguh baik hati, saya bersyukur menjalani sebuah skenario hidup yang sebelumya tak pernah saya perkirakan. Dan memang banyak sekali skenario hidup yang berjalan indah tanpa pernah kita duga sebelumnya. Dan sebaliknya ada banyak ketakutan hidup yang sering kita duga dan prasangka namun tidak pernah benar – benar terjadi.

Salam Penuh Berkah
Toha Zakaria

No Comments »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URL

Leave a comment

Powered by WordPress