Ikatlah Ilmu Dengan Menuliskannya, Dengan Menge-Blog-kannya Rumah Inspirasi Toha Zakaria

November 10, 2013

Yakinlah, Demi Orang Tua Sama Dengan Demi Masa depan

Filed under: Curhat — Tags: , — TOHA @ 11:18 pm

“orang yang saya cintai bisa meninggal sewaktu – waktu. Kalau saya sayang sama mereka, lebih baik berbakti ya Sekarang!”
Toha zakaria & bapak
Memasuki tahun ke delapan hidup di tanah rantau, melewati 8 kali lebaran yang selalu saya nikmati di kampung halaman Pacitan, baru tahun inilah saya merasakan lebaran di kampung halaman terlama, 3 minggu lebih. Semua itu bisa terwujud berkat keputusan besar awal tahun yang saya ambil, keputusan resign dari pekerjaan yang sudah banyak memberikan segalanya untuk saya. Dulu sewaktu masih jadi karyawan pabrik, biasanya tidak sampai seminggu saya berada di pacitan, lebaran hari ke-4 sudah berangkat balik ke ibu kota. Apalagi diluar libur saat lebaran, paling lama mudik hanya 3 hari dirumah. Maklum status sebagai buruh pabrik mengharuskan saya mengikuti setiap aturan yang ada. Apalagi posisi saya yang nyaris “tak tergantikan” di bagian PPIC (plan production inventory control). Lebaran di kampung sambil memikirkan planing LG, memikirkan material, memikirkan produksi, dan lain – lain, dan lain – lain. Iyah, keputusan resign bulan february kemarin benar – benar membuat saya punya banyak waktu untuk menikmati mudik lebaran lebih lama bersama bapak di kampung halaman.

Semenjak ibu meninggal 9 tahun yang lalu, bapak hingga kini belum menikah lagi. Sudah berkali – kali saya berusaha mencarikan pendamping hidup untuk bapak, namun kandas. Masih teringat jelas bagaimana saya “nembung” bulek (adik ibu) saya untuk menikah dengan bapak. Waktu itu saya sangat gemeteran memulai pembicaraan dihadapan bulek dan ibunya (nenek). Rasa – rasanya saya seperti lagi mencari jodoh untuk diri saya sendiri. Berulang – ulang saya meyakinkan bulek agar mau menikah dengan bapak termasuk saat lebaran kemarin, namun hasilnya nihil. Akhirnya pun saya menyerah, dan bapak bisa menerima dengan legowo semua keputusan bulek.

3 minggu di pacitan membuat saya terhenyak. Saya jadi tahu lebih banyak detail kehidupan bapak sekarang. Saya terlahir sebagai anak ragil alias anak bungsu. Kakak saya yang pertama (luqman arif) tinggal di jakarta dan sudah berkeluarga, kakak saya yang kedua (ilham bunaiya) tinggal di pacitan juga sudah berkeluarga. Mas ilham secara berkala dalam seminggu membagi waktu tinggal antara Poko (rumah mertua) & nanggungan (rumah bapak). Kadang 4 hari di nanggungan 3 hari di poko. Secara materi mas ilham lah yang menjadi tumpuan hidup sehari – hari bapak. Namun dengan selang waktu yang kadang kala sendiri membuat bapak sering menikmati keheningan malam seorang diri. Dibanding dengan dua kakak saya, saya lah yang paling dekat dengan bapak, yang paling nyambung dengan bapak, yang paling banyak mendengar keluh – kesah beliau. Dan lebaran kemarin saya benar – tahu seperti apa realita kehidupan dan perasaan bapak selama ini. Dan itu benar – benar membuat saya sedih, bingung, dan berpikir mendalam apa yang bisa saya bantukan.

Memang idealnya bapak menikah lagi, agar supaya kehidupan bapak jadi lebih teratur. Mencarikan pendamping sudah saya lakukan, namun hasilnya nihil. Dengan pengalaman pernah kehilangan seorang ibu, dan ketika orang yang kita cintai telah tiada, penyesalan sedalam apapun tak akan mampu mengembalikannya ke dunia. Maka pelajaran terbesar adalah :

“orang yang saya cintai bisa meninggal sewaktu – waktu. Kalau saya sayang sama mereka, lebih baik berbakti ya Sekarang!”

Akhirnya pada pertengahan agustus sebelum kembali ke Jakarta sebuah keputusan besar saya ambil dan saya sampaikan kepada bapak. Setelah hampir 8 tahun merantau maka kali ini saya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman, hidup di kampung bersama bapak, menemani kesehariannya, melengkapi masa tuanya. Bikin kopi untuk bapak, mencuci bajunya, atau mungkin memasak, menemani ke sawah, menjadi rutinitas yang saya bayangkan bila keputusan pulang kampung benar – benar saya ambil.

Saya sadari masa – masa muda adalah masa dimana idealisme tinggi sendang berkobar, cita – cita setinggi langit, keinginan sukses menggebu – gebu. Begitu juga dengan saya. Dan dengan keputusan pulang kampung demi bapak, maka saya harus melepaskan semua itu dengan penuh berat hati. Karena ini adalah keputusan dari hati maka saya tak perlu merisaukan kegelisahan – kegelisahan yang dipahat oleh pikiran. Kegelisahan dan kecemasan seperti “kalau saya pulang kampung lalu di sana saya mau kerja apa?. Lalu bagaimana dengan jodoh saya? Padahal umur sudah 28, berati harus membangun jaringan penjemput jodoh dari nol donk?. Lalu bagaimana dengan masa depan saya kalau harus hidup di pacitan?. Bagaimana dengan semua energi yang sudah saya bangun di tanah rantau?”. Seandainya keputusan balik ke kampung adalah keputusan dari pikiran (bukan dari hati) tentu saya akan takut dengan semua kegelisahan dan kecemasan itu.

Dengan garis sekenario yang saya hadapi sekarang saya pun jadi paham mengapa sebelum ramadhan kemarin entah kenapa saya menolak tawaran dari seorang teman untuk bekerja di sebuah perusahan besar. Waktu itu memang alasan yang saya sampaikan karena ingin membangun sumber penghasilan sendiri (bisnis). Dan ternyata keputusan menolak tawaran tersebut sekarang saya syukuri, karena ada sesuatu yang lebih penting yang ingin Tuhan hadapkan pada saya, yaitu pulang kampung menemani bapak.

Dan akhirnya keputusan berat tersebut benar – benar saya jalankan. Pertengahan oktober kemarin saya mudik ke pacitan dengan tidak seperti biasanya. Saya mudik dengan membawa semua buku, membawa semua pakaian, membawa semua perkakas, dan membawa semua ilmu dan kenangan selama 8 tahun. Meninggalkan semua teman baik saya, meninggalkan saudara – saudara baik saya, meninggalkan tempat – tempat yang banyak berjasa, dan juga meninggalkan sebuah sepeda yang selama hampir 8 tahun menemani saya. Semua demi orang tua, semua demi bapak. Dan ketika berpamitan dengan teman – teman saya bilang ke mereka “ini adalah keputusan dari dalam hati, dan dengan ikhlas akan saya jalani. Namun bukan tidak mungkin suatu saat sekenario kehidupan mengharuskan saya kembali ke tanah rantau”.

Dan tak terasa saya pun sampai menitikkan air mata mengetik tulisan ini.

“Hijrah bukan semata – mata soal pindah dan semangat berubah. Tapi juga soal kesabaran & yakin akan pertolongan-Nya.” ~Ippho. S~

Semoga cerita ini bermanfaat.

Salam “hijrah” penuh berkah.
Toha Zakaria

4 Comments »

  1. cuma orang-orang terpilih, yang mampu mengambil keputusan besar untuk kembali hijrah ke titik Nol demi cintanya kepada orang tua…, salah satu orang terpilihnya yaa itu kamu “Toha Zakaria”

    aku yakin sob.., Allah akan memberikan yang paling indah buat orang pilihan-NYA.

    Comment by Buchay — November 11, 2013 @ 12:44 pm

  2. Amin…amin ya Allah.
    Terimakasih mas Buchay. salam rindu dari jauh

    Comment by TOHA — November 13, 2013 @ 8:28 am

  3. saya terharu dengan ketulusanmu pak, dan dari sekian teman saya, saya yakin berkah terbaik akan anda dapatkan nantinya.

    Comment by Erna — November 18, 2013 @ 10:46 am

  4. Ridhlo-Nya Alloh adalah ridhlonya orang tua. SubhanAlloh, saya merinding bacanya,, semoga rizki yg sudah Alloh janjikan akan datang pada waktu dan jodoh yg Alloh tetapkan akan tiba pada waktunya, bersama dengan bakti yg disempurnakan u/ orang tua. aamiin.

    Comment by Diana — December 11, 2013 @ 1:40 pm

RSS feed for comments on this post. TrackBack URL

Leave a comment

Powered by WordPress