Hari jumat di bulan Agustus. Pagi sekitar pukul 8 saya bersiap mengantar istri ke dokter Indra spesialis kandungan yang ada di Pacitan kota. 3 hari sudah lewat dari HPL kelahiran. Setelah kemarin sore periksa ke Bu bidan Isti di Jatimalang, akhirnya Bu Isti menyarankan untuk memeriksakan kandungan ke Rumah sakit atau dokter kandungan. Karena hari Jumat kebetulan hari cuti bersama, Rumah sakit tidak menjadi pilihan pertama. Dokter Indra yang kami pilih. Tensi tinggi menjadi catatan penting dari Bidan Isti. Bu Bidan Isti tidak menyarankan untuk menunggu kelahiran secara normal dikarenakan tensi istri saya tinggi (140).
Saya berangkat berdua dengan istri dari rumah mertua, Gayuhan, Arjosari. Tiba di lokasi pukul 9 masih belum genap. Istri langsung menuju loket pendaftaran.
“Mak, kulo ke OSG dulu ya. Kabari kalau sudah dipanggil”
Aku pun meluncur ke OSG (Omah Sang Guru) yang hanya berjarak kurang dari 1 menit dari tempat praktek dokter Indra. Sampai di OSG ternyata sudah hadir “poro-poro” sedang asik berbincang. Pak Naryo, Pak Edy, Pak Hariyanto, dan Pak Ruri.
Tentu bisa ditebak topik apa yang sedang diperbincangkan. Topik detik-detik menunggu Rekom untuk Pak Profesor. Segera saya menuju ke dapur untuk menyeduh 4 cangkir kopi panas.
Setengah 10 kurang muncul WA dari istri, langsung saya bergegas cabut dari OSG. mampir ATM yang ada di pojok alun-alun, kemudian baru menuju tempat praktek Dokter Indra. Sampai di tempat dokter Indra, saya langsung masuk ke ruang dokter dimana istri saya sudah menunggu di sana.
“Bapak suaminya Ibu Elis, ya?”
“Iya, dok”
“Jadi, begini Pak. Memang ini tidak darurat, namun kami menyarankan besok senin operasi. Dikarenakan posisi bayi melintang, dan tensi Bu Elis tinggi, 158”.
Deggggggg…
Jantung berdegup kencang mendengar penjelasan dokter. Namun saya tetap berusaha tenang, jangan sampai istri tahu isi lubuk hati saya saat itu. Sebisa mungkin istri harus dibuat tetap tenang.
.
Normal atau cesar, biaya besar atau kecil, cukup di Bidan atau di Rumah Sakit, bahkan sampai hal yang di kelahiran anak pertama kedua tak pernah terlintas di pikiran, yakni Istri selamat atau tidak. Peristiwa meninggalnya istri 2 orang teman saat melahirkan di satu tahun belakangan sungguh terus menghantui pikiran.
.
Akhirnya hari minggu kami sekeluarga boyongan ke rumah Nanggungan. Untuk memudahkan rencana besar hari Senin besok. Rumah Nanggungan yang hanya berjarak 5 menit menuju rumah sakit.
.
Senin pagi pukul 9 saya dan istri bergegas menuju rumah sakit. Setelah mengurus administrasi pendaftaran, kami berdua langsung menuju ruang laboratorium untuk melakukan pemeriksaan, yang hasilnya digunakan saat bertemu dokter. Dari laboratorium langsung ke ruang tunggu poli kandungan. Ketemu Bu Ida yang sebelum kami datang sudah membantu mengurus pendaftaran. Bu Ida, yang saya kenal berawal dari rumah Pak Prof Diono di Sumberharjo.
Ternyata dokter yang bertugas hari ini adalah Dokter Agung. Tambah tidak karuan ketegangan siang ini. Mengapa?
Karena dikenal banyak orang bahwa dokter Agung ini adalah anti KELAHIRAN NORMAL, alias “si spesialis cesar”. Dikit-dikit cesar, apa-apa cesar.
Setelah menunggu 2 jam lebih akhirnya kami berdua dipanggil masuk ruangan. Tak butuh waktu lama untuk menjalani tahap akhir ini. Tidak sampai 5 menit tibalah kami ditahap eksekusi. Tahap dokter Agung menyampaikan laporan kesimpulan final.
“Bu, ini bayi sehat, ketuban juga normal, tensi 140”
Saya tak sabar menunggu kalimat pamungkas (kesimpulan) dari dokter.
“Mau ditunggu apa mau operasi besok”.
Kami berdua kaget, istri langsung menjawab dengan pertanyaan.
“Memang masih bisa ditunggu, dok?. Kalau masih bisa, ditunggu saja Dok”
Dokter Agung menjawab, “oke, bu.. Ditunggu hingga 7 hari kedepan. Jika 7 hari kedepan ada terasa mules tanda-tanda melahirkan, segera bawa ke rumah sakit. Namun jika sampai senin depan tidak ada tanda-tanda melahirkan, maka senin malam langsung bawa ke IGD untuk dilakukan operasi hari selasanya”.
Plooong rasanya mendengarkan penjelasan dari dokter Agung. Sungguh di luar dugaan. Saya dan istri langsung bergegas pulang.
Memasuki Selasa pagi sekitar pukul 10 istri saya merasa mual-mual tanda-tanda mau lahiran muncul. Bergegas saya antar istri saya ke Bu Bidan Lilik yang ada di Desa Semanten. Setelah dilakukan pemeriksaan, Bu Lilik langsung merekomendasikan agar langsung dibawa ke Rumah sakit, langsung ke IGD. Bu Lilik tidak menyarankan lahiran normal di tempat beliau. Tensi tinggi menjadi alasan utama.
Tanpa pulang ke rumah kami langsung menuju RSUD Darsono. Langsung masuk IGD dan dilakukan penanganan awal. 1 jam berjalan kami masih di IGD, belum berpindah ke ruang persalinan. Istri nampak pucat tidak tenang. Membayangkan operasi cesar diujung mata. Perasaan saya campur aduk, antara bingung, cemas, takut, was-was, berputar-putar silih berganti jadi satu.
Saya paham betul apa yang istri pikirkan perihal operasi cesar.
Saya sebagai suami, seberapapun gemuruh dalam batin, tampilan luar sebisa mungkin tetap berusaha adem, kalem.
“Mak, tenangkan pikirmu..fokus saja ke lahiran. Ndak usah mikir macem-macem”.
“Puluhan juta untuk sekolah saja dijabanin, mosok untuk lahiran cesar istri yang paling hanya belasan dikawatirkan”
“Tetap tenang, mak..pasti ada jalan. Uang bisa dicari, keselamatan istri nomer satu”
Saya mencoba menyemangati, meskipun sebenarnya dalam hati saya sendiri penuh kebingungan, kecemasan, melebur jadi satu.
Mendengar saya berdeklarasi, istri tiba-tiba meneteskan air mata.
“Weh, kenapa mak? Kok nangis” tanganku spontan mengusap air matanya.
“Terharu, Pak”, Jawab istriku, singkat.
Jawaban singkat tersebut malah membuat saya tertular haru tak tahan meneteskan air mata… namun sekuat tenaga saya tahan jangan sampai keluar.
Drama pun berlanjut, tak lama kemudian bapak dan ibu mertua datang. Kemudian istri dipindah ke ruang persalinan Flamboyan. Disana saya bertemu teman sekelas waktu SMA, Ketua OSIS di zamannya. Saya bergegas pulang untuk mengambil perlengkapan lahiran, sembari tentu nengokin Faiza & Zizi yang sudah 4 jam ditinggal di rumah bersama simbahnya.
Pukul 5 sore saya kembali ke rumah sakit. Istri sudah dipasang peralatan medis yang saya kurang begitu paham. Intinya, diberi obat penurun tensi, dan juga didrip/diberi obat perangsang kehamilan.
Memasuki sore berpindah malam, cerita semakin menegangkan. Sekitar setengah 7 berkali-kali istri menggigit bibir menahan sakit rangsangan detik-detik lahiran. Ibu mertua memilih menunggu di luar, dengan alasan ndak tega, ‘ora tatag’. Saya setia di samping istri yang tengah berjuang.
Sempat terbersit dalam pikiran, di sini saya tegang menunggu istri lahiran. Di luar sana Pak Prof Sudijono dan tim SSG (Sahabat sang guru) juga sedang tegang menunggu Rekom yang sudah memasuki detik-detik akhir pengumuman. Akankah Guru besar lanjut dalam kontestasi Pilkada Pacitan? Atau jangan-jangan guru besar tersingkirkan karena tidak punya orang dalam.
Alhamdulillah, akhirnya pukul 19 lewat 4 menit anak ke-3 kami lahir ke dunia. Melalui proses normal.
Selamat datang AYA SOFYA.
Salam Penuh Berkah
Toha zakaria