Sebuah keluarga sedang merayakan idul fitri dikampung halaman pacitan. 5 orang bersaudara lagi berkumpul melepas kangen dengan Bapak – Ibunya setelah sekian lama merantau. Mereka saling menceritakan kisah sukses di perantauan. Ada yang sukses dengan bisnis rumah makannya, ada yang dengan bangga menceritakan perjananan yang mengantarkan menjadi direktur BUMN terkenal, namun satu diantara mereka berlima tampak menunduk dan enggan bercerita tentang cerita kehidupannya di tanah rantau. Dari bahasa tubuhnya terlihat anak itu tidak nyaman dengan obrolan seputar kesuksesan di perantauan. Mungkin bisa jadi cerita dia di tanah rantau tak semenarik cerita ke-empat saudaranya. Bapaknya pun paham dengan situasi yang terjadi dan kemudian mengajak ibunya ke dapur untuk membikin teh. Bapak itu pun mengambil beberpa cangkir untuk melengkapi satu teko teh yang masih mengepul dan siap diseduh. Uniknya, cangkir yang disajikan terdiri dari beberapa bentuk dan warna yang berbeda. Ada yang dari kaca, ada yang dari keramik, melamin, dan ada juga yang hanya terbuat dari plastik biasa.
“Ayo tehnya diseruput dulu, ini racikan teh terbaik yang sudah bapak siapkan untuk kalian”. Seketika itu pula mereka berlima bergegas memilih cangkir yang paling bagus untuk kemudian menuangkan teh racikan bapaknya kedalama cangkir tersebut. Di meja tersisa satu buah cangkir paling jelek yang terbuat dari plastik.
“wah bener bener manteb pak rasanya, menambah nikmat pertemuan ini” sahut salah satu dari mereka. “Bapak memang pinter meracik teh” imbuhnya.
“Enak kan teh racikan bapak? tapi apakah kalian ngeh kalau kalian tadi hampir berebut memilih cangkir yang paling bagus yang akhirnya menyisakan satu cangkir yang paling jelek ini?” tanya bapaknya dengan nada serius. Kelima anak itu saling berpandangan dan tampak kebingungan dengan maksud perkataan bapaknya.
Bapaknya melanjutkan pembicaraan. “memang wajar dan manusiawi untuk memilih yang terbaik dalam hal apapun termasuk cangkir ini. Tapi masalahnya, ketika kalian tidak memperoleh cangkir yang bagus, perasaan kalian pasti mulai terganggu dan membandingkan dengan cangkir milik yang lain. Yang akhirnya tanpa sadar kalian fokus pada cangkirnya. Padahal yang kita nikmati bukan cangkirnya, melainkan tehnya. Dan kalian tadi juga mengakui kalau tehnya memang benar – benar enak. Jadi tolong direnungkan, hidup kita seperti teh dalam cangkir ini. Sedangkan cangkirnya adalah pekerjaan, jabatan, kecantikan, harta benda, dan segala sesuatu yang tampak dari luar”.
“oleh karena itu jangan biarkan cangkir mempengaruhi teh yang kita nikmati. Cangkir bukanlah yang utama, tapi kualitas tehnyalah yang terpenting. Jangan berpikir bahwa kekayaan, kecantikan, jabatan, pekerjaan yang mapan yang kalian banggakan di awal tadi adalah jaminan kebahagiaan. Namun sejatinya kualitas hidup ditentukan apa yang ada di dalam, bukan apa yang kelihatan dari luar. Apa gunanya kita memiliki segalanya, namun kita tidak bisa merasakan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup?. Itu sama saja kita menikmati teh basi kemaren sore di sebuah cangkir yang terbuat dari emas mahal. Menyedihkan bukan?”.
Sejenak situasi menjadi hening. Kelima anak tersebut terdiam dan terhenyak dengan pelajaran penting yang mereka dapatkan dari bapaknya. Lebaran kali ini benar – benar telah menjadikan mereka lebih bijak dan tidak sombong dengan apapun yang diperoleh.
Untuk melihat versi video dari artikel ini, silahkan simak video di bawah ini.
Salam Penuh Berkah
Toha Zakaria.